Hidroponik Desa Pekondoh Way Lima Diduga Menjadi Ajang Korupsi Kepala Desa Firlizani.

Pesawaran, Jejakkasus.info

Pekan lalu, sebuah kasus mencuat di Desa Pekondoh, Way Lima, yang melibatkan dugaan penyalahgunaan dana desa oleh Kepala Desa Firlizani. Wacana pemulihan perekonomian masyarakat pasca pandemi Covid-19, serta program menciptakan “Desa Tangguh Mandiri,” yang digagas oleh Firlizani, kini dihadapkan pada sorotan tajam. Program yang awalnya diharapkan bisa membawa manfaat bagi masyarakat ini diduga hanya sebuah rekayasa untuk menguntungkan diri sendiri dan keluarga sang kepala desa.

Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah pembangunan hidroponik desa yang anggarannya mencapai Rp 162.100.000. Informasi yang diterima dari salah seorang warga setempat melalui percakapan telepon mengungkapkan, tanah tempat pembangunan hidroponik tersebut adalah milik keluarga Firlizani. “Kami masyarakat tidak tahu apa yang dibangun dan untuk apa, anggaran itu besar, ratusan juta. Sejak dibangun hingga kini, kami tidak melihat manfaatnya,” ujar warga tersebut, yang enggan disebutkan namanya.

Dokumentasi penggunaan dana desa menunjukkan bahwa pada tahun 2020, pemerintah desa Pekondoh menganggarkan dana sebesar Rp 162.100.000 untuk alat produksi dan pengolahan pertanian. Pada tahun 2021, anggaran untuk peningkatan media tanam hidroponik berjumlah Rp 20.480.000, dan pada tahun 2022, ada anggaran lanjutan sebesar Rp 34.025.000 untuk inovasi budidaya hidroponik, serta tambahan untuk rehab pagar GH hidroponik sebesar Rp 15.875.000.

Namun, keberadaan hidroponik tersebut dipertanyakan oleh warga. “Kami tidak tahu adanya berita acara pembangunan atau musyawarah terkait proyek ini,” ujar warga lainnya. Bahkan, pihak Inspektorat Pesawaran yang dihubungi terkait penggunaan dana desa tersebut hanya memberikan jawaban singkat, dengan menyatakan bahwa proyek tersebut sudah diaudit, meski tidak menyebutkan irban yang melakukan audit tersebut.

Selain proyek hidroponik, Firlizani juga menggunakan anggaran dana desa 2023 untuk pembangunan jembatan gantung dengan biaya sebesar Rp 100.622.000. Namun, proyek ini pun menuai kritik karena dianggap tidak transparan. Salah seorang anggota Tim Pengelola Kegiatan (TPK) jembatan gantung mengungkapkan, proyek tersebut dikerjakan oleh pihak luar desa, dan barang belanjaannya semuanya diserahkan kepada kepala desa. “Semua yang berbelanja itu kepala desa sendiri,” jelas TPK tersebut.

Dugaan lain yang lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan dana desa untuk kepentingan pribadi kepala desa. Firlizani diduga juga menjual aset desa, seperti batu belah dan pasir, yang diketahui dijual kepada seorang warga dengan jarak sekitar 200 meter dari jembatan gantung. Warga desa mengungkapkan bahwa penjualan ini diduga untuk membayar utang pribadi.

Selain itu, pada tahun 2023, kepala desa ini juga mengalokasikan dana desa untuk pembelian seragam sepak bola dengan anggaran Rp 5.301.500, yang diduga merupakan kegiatan fiktif. Belum ada penjelasan yang memadai mengenai tujuan dan penerima manfaat dari pembelian tersebut.

Dari berbagai temuan ini, banyak pihak mulai mempertanyakan integritas Kepala Desa Firlizani. Dengan dugaan penggunaan dana desa untuk kepentingan pribadi, serta pembangunan yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, desas-desus mengenai praktik korupsi di Desa Pekondoh semakin kuat. Masyarakat berharap ada tindakan tegas dari pihak berwenang untuk menyelidiki lebih lanjut dan memastikan penggunaan dana desa digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Apakah Desa Pekondoh akan tetap menjadi desa yang tangguh dan mandiri, atau malah menjadi lahan basah untuk keuntungan pribadi segelintir orang? Hanya waktu yang akan menjawab, namun transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran desa harus menjadi prioritas utama demi kesejahteraan masyarakat.

Bambang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *