Depok l Jejakkasus.info – Insiden pengusiran wartawan yang terjadi di proyek pembangunan Alun-alun Depok wilayah barat, tepatnya di Kecamatan Bojong Sari, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, menuai kecaman keras dari berbagai pihak.
Joko Warihnyo, seorang anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, dilarang masuk oleh oknum petugas keamanan saat hendak melakukan peliputan di area Alun-alun Depok, Rabu, 29 Mei 2024.
Ketua PWI Depok Rusdy Nurdiansyah, mengatakan bahwa tindakan menghalangi tugas jurnalistik, adalah pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
“Siapa pun tidak boleh menghalangi tugas seorang jurnalis. Pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Rusdy. Kamis (30/5/2024), di Kota Depok, Jawa Barat.
Rusdy Nurdiansyah, menegaskan dengan mengutip Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Depok Iyung Rizki, juga mengecam keras tindakan petugas keamanan tersebut.
“Kejadian ini, menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai fungsi pers sebagai alat kontrol sosial,” kata Iyung.
Menurut Iyung, ketika awak media sudah memperkenalkan diri dan menunjukkan ID kartu pers, seharusnya pihak alun-alun memberikan akses dan pendampingan.
“Pihak kepala dinas juga harus mengedukasi para petugas keamanan agar memahami tugas seorang jurnalis,” kata Iyung.
Senada dengan pendapat Rusdy dan Iyung, Ketua Majelis Taklim (MT) Balai Wartawan Depok Adi Rakasiwi, mengatakan bahwa pelarangan wartawan dalam menjalankan tugasnya di area publik, seperti alun-alun, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
“Ini harus dipahami oleh para OPD Pemkot Depok. Wartawan seharusnya diberikan akses seluas-luasnya dalam menjalankan tugasnya mencari berita, terutama di fasilitas publik yang dibangun dengan uang rakyat. Menghambat kemerdekaan pers sama dengan menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat,” kata Adi.
Insiden ini semakin memperburuk citra proyek pembangunan Alun-alun Depok yang telah menelan dana hingga Rp45 miliar.
Proyek yang seharusnya menjadi pusat kegiatan masyarakat tersebut, kini dihadapkan pada berbagai masalah, termasuk dugaan sengketa tanah seluas 2,3 hektar yang menjadi lokasi alun-alun.
Ketika para wartawan mencoba mengambil gambar di area alun-alun, mereka dihentikan oleh petugas keamanan yang mengklaim menjalankan perintah dari pimpinan dinas.
“Selamat siang pak, mohon maaf mengganggu. Kami dari media, mohon izin mau ambil gambar buat berita,” kata salah satu wartawan.
Namun, tanggapan sinis diterima dari petugas keamanan.
“Kamu dari mana?. Mau apa?. Tidak boleh ambil foto-foto di sini, silakan keluar. Saya menjalankan perintah dari pimpinan Dinas.”
Akibatnya, para wartawan terpaksa mengambil gambar dari luar area alun-alun.
Kejadian ini menunjukkan betapa ketatnya pengawasan dan tingginya kontroversi yang melingkupi proyek pembangunan tersebut.
Pantauan di lapangan, menunjukkan bahwa meskipun pembangunan alun-alun sudah menyedot anggaran besar, proyek ini masih belum selesai sepenuhnya.
Insiden pengusiran wartawan ini menambah sorotan publik terhadap masalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek yang menggunakan dana publik.
Dalam situasi ini, para ketua wartawan Depok menyerukan perlindungan terhadap kemerdekaan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Mereka berharap kejadian serupa tidak terulang dan pihak terkait segera mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi.
Laporan: Erdan Faizal
Sumber: Japos.co