Situbondo | jejakkasus.info – Riuhnya pemberitaan seputar Tunjangan Hari Raya (THR) dan kendaraan dinas (mobdin) di Situbondo belakangan ini tak hanya memenuhi ruang media massa, tetapi juga memecah opini publik di media sosial. Dari dugaan pencatutan nama wartawan hingga sorotan terhadap kebijakan mobil dinas, isu ini menyisakan pertanyaan: apakah tidak ada yang lebih substansial untuk dibicarakan dalam konteks pembangunan daerah?
Isu yang mencuat ke permukaan tampaknya bukan sekadar soal THR dan Mobdin, tetapi cerminan tarik-menarik kepentingan antara kelompok media, aktivis, dan pemerintahan baru yang tengah membentuk arah baru Situbondo.
Eko Febriyanto, CEO PT Siti Jenar Group Multimedia sekaligus Ketua LSM Situbondo Investigasi Jejak Kebenaran (SITI JENAR), menyampaikan pandangannya secara kritis. Ia menilai, media seharusnya memainkan peran sebagai penyambung informasi yang edukatif dan membangun, bukan sebagai alat polarisasi atau propaganda kepentingan sempit.
“Media mestinya turut membangun citra daerah, bukan hanya memviralkan konflik yang belum jelas duduk persoalannya,” ujar Eko. Namun, ia juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan adanya ekses dari kebijakan pemerintah yang harus dikritisi secara sehat.
Kritik kepada Pemerintah dan Media:
Eko menilai bahwa langkah efisiensi penggantian mobdin dari Alphard ke Fortuner oleh Pemerintahan Bupati Rio dan Wakil Bupati Ulfi memang layak diapresiasi. Namun, bila kebijakan ini hanya menjadi alat pencitraan dan tidak menyentuh persoalan publik secara langsung seperti kemiskinan, pendidikan, dan pengangguran, maka perlu dikoreksi.
“Efisiensi penting, tapi bagaimana dengan kebijakan substansial lainnya? Jangan sampai isu simbolik menutupi stagnasi pelayanan publik,” tambahnya.
Sementara di sisi lain, ia mengkritik sebagian oknum media yang terkesan menggiring isu secara berlebihan, bahkan menjurus pada dugaan framing sepihak tanpa fakta yang terkonfirmasi. Eko mempertanyakan, apakah pemberitaan ini murni untuk kepentingan publik atau justru bagian dari dinamika internal media yang belum selesai sejak perubahan kepemimpinan.
Fenomena Post-Truth dan Distrust Publik:
Eko mengingatkan bahwa masyarakat Situbondo perlu waspada terhadap fenomena post-truth, di mana narasi dan emosi kerap mengalahkan fakta. Hal ini memunculkan potensi kebohongan yang dikemas sebagai kebenaran dan menimbulkan kebingungan publik.
“Ada potensi logical fallacy yang kuat—dimana framing dipaksakan untuk membentuk opini, bukan untuk mencari solusi. Kalau sudah sampai menyebut inisial, harus jelas datanya. Jika tidak, malah berisiko jadi pencemaran nama baik,” tegas pria asal Besuki ini.
Harapan untuk Semua Pihak:
Di tengah kondisi ini, Eko mengajak semua pihak—baik pemerintah, media, maupun masyarakat sipil—untuk kembali ke peran dasarnya. Pemerintah harus membuka ruang dialog dan transparansi, sementara media dituntut lebih profesional dan tidak menjadi alat politik kelompok tertentu.
“Situbondo tak akan naik kelas hanya dengan debat kusir. Yang dibutuhkan adalah inovasi, kolaborasi, dan kedewasaan,” tutup Eko, dengan harapan konflik ini bisa menjadi momentum refleksi semua pihak.
(Hosni)